Senin, 09 November 2009

Antara Luar dan Dalam





“Pak, lihat tuh! Tetangga sebelah beli mobil baru. Mobil khusus buat si nyonya, kata supirnya, Saimin,” seru Widya.
”Terus kenapa, Bu? Kalau memang Pak Burhan tetangga kita mendapat rejeki melimpah apakah itu salah?” tanya Sofyan.
”Ya tidak salah. Tapi masa sih seorang Burhan yang hanya lulusan S1 lokal dan cuma bisnis toko kue kecil-kecilan bisa punya rumah lebih besar dan mobilnya lebih dari tiga?”
Lha, kalau memang pak Burhan giat bekerja dan akhirnya bernasib baik, bapak rasa ia pantas menikmatinya.”
Ah, bapak nih! Bapak juga bisa lebih hebat dari dia. Tapi bapak terlalu main aman dan kurang memanfaatkan kesempatan!”
”Bu..bu.. Apa kehidupan kita saat ini kurang bahagia? Anak dua-duanya mendapat beasiswa di universitas negeri, tinggal di rumah yang nyaman walau tak semewah tetangga dan bisa jalan-jalan walau mobil cuma ada satu.”
Sofyan Mahendra adalah seorang sarjana teknik arsitektur. Ia berotak cemerlang dan berhasil mendapat beasiswa di German untuk gelar masternya. Ia juga pandai bergaul dan memiliki selera humor. Dikalangan para arsitek Indonesia, namanya cukup terkenal. Ia menangani banyak proyek mulai dari gedung, apartemen eksklusif, hingga perumahan kelas menengah. Kreasinya tidak pating clekutik, tepat guna, nyaman dan apik. Ia lihai dalam memanfaatkan lahan. Tidak seluruhnya dijadikan beton berhias daun pintu dan kaca jendela. Ciptaanya memiliki proporsi seimbang antara bangunan dan tempat hidup tumbuhan. Tak heran buah pikirnya kerap digemari para pecinta hunian yang nyaman dan asri.
Kehidupan dengan istrinya, Widya Hartanti, telah dijalani lebih dari 25 tahun dan dikaruniai dua orang anak bernama Anita dan Antoni. Widya adalah seorang ibu rumah tangga yang mengisi hari-harinya dengan memasak bagi banyak keluarga di sekitar alias melayani jasa katering rantang. Setiap pukul 4 subuh ia dan pembantunya, mbok Minah, berbelanja ke pasar tradisional untuk membeli bahan makanan yang akan dimasak bagi para pelanggan dan juga keluarganya sendiri.
Ia adalah seorang perempuan yang pintar, mandiri, juga cantik. Berulang kali suaminya menawarkan jasa supir, ia selalu menolak. Ia memilih menyetir sendiri ditemani mbok Minah yang duduk di sebelahnya. Untung saja walaupun mobil hanya satu tapi bertransmisi automatic. Setidaknya kalau ’kencan’ dengan kemacetan metropolitan, mulutnya tidak mengeluarkan keluhan banyak dan lututnya tidak berasa mau copot serta gemetaran. Lagi pula, inilah gunanya teknologi tuturnya saat ditanya sang suami sebelum membeli mobil tersebut.
Awalnya, Sofyan bekerja pada sebuah perusahaan pembangun gedung dan tempat tinggal pimpinan kawannya. Ia mengenalnya ketika bersama-sama menuntut ilmu di negara yang terkenal dengan sosok pria berkumis dan berlambang swastika. Sayangnya, nasib buruk menimpanya ketika terjadi kerusuhan besar pada tahun 1998. Jika peristiwa ini tidak terjadi, ia bisa menjadi miliyuner karena mengerjakan proyek pembangunan apartemen mewah di Singapura. Ia pun telah berencana memboyong anak dan istrinya ke negara tetangga tersebut.
Tiga hari sebelum timnya bertolak ke negara tetangga, terjadi kerusuhan masal di Jakarta. Pertokoan dirusak, barang-barang dijarah, dan aksi bakar-membakar yang membabi buta menjadi pemandangan tak terlupakan di ibukota. Denting pecahan kaca gedung dan pertokoan yang dihancurkan oleh orang-orang kalap, senantiasa menggores serta melukai siapapun didekatnya yang lari tunggang-langgang mencari selamat maupun yang berhasil membawa jarahan hingga berdarah. Ibukota benar-benar kacau hingga berakibat buruk pada kondisi ekonomi negara. Dalam peristiwa ini berbagai kerugian dari segi materi maupun moral serta psikis lantaran menderita trauma dialami oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Perusahaan tempat Sofyan bekerja juga kena imbasnya. Gedung kantornya tidak ’gaya’ lagi dan yang paling parah kantornya tidak ’hidup’ lagi. Perusahaan tidak mampu melunasi hutangnya akibat inflasi gila-gilaan paska kerusuhan yang membuat nilai rupiah serata dengan tanah. Pemiliknya pun segera angkat kaki dari tanah air dan kabarnya saat ini berada di Australia entah kerja apa.
Sejak itu, Sofyan menjadi pengangguran. Untung saja ia dan istrinya cukup pandai mengatur keuangan. Uang yang diperoleh ketika ia masih berjaya selalu disisihkan untuk ditabung, didepositokan serta dibelikan beberapa batang emas sebagai pilihannya dalam berinvestasi jangka panjang. Keluarganya selamat dari jerat krisis ekonomi selama beberapa waktu walau sang kepala keluarga kehilangan pekerjaan. Tentu saja keberhasilan ini bisa tercapai karena Widya yang mau memulai usaha katering rantang serta berkorban untuk tidak beli ini-itu sebab uang diprioritaskan untuk makan dan bayar uang sekolah anak. Ia bersyukur memiliki istri pengertian walaupun sebenarnya juga frustasi karena tidak memiliki pekerjaan.
Tahun silih berganti namun trauma tetap membekas di hati Sofyan. Kini ia bekerja sebagai dosen tetap di fakultas teknik arsitektur di sebuah universitas swasta. Sifat pantang menyerahnya ’mematikan’ ingatan tentang mendapatkan harta karun yang tinggal selangkah lagi di kala itu. Ia termasuk dosen favorit. Muridnya selalu antusias bila mendengarkan penjelasannya yang to the point dan sesekali diselingi humor penangkal kantuk. Jika penasaran mengapa ia menjadi pengajar yang disukai, biasanya para mahasiswa dan mantan mahasiswanya memiliki jawaban serupa.
Ia mengajarkan lebih dari sekedar ilmu arsitektur. ”Ketika merancang bangunan apalagi rumah, bayangkanlah bahwa kita si perancang adalah si calon pemakai atau penghuni. Tidak ada gunanya merancang bangunan yang dari luar terlihat spektakuler namun sama sekali tidak nyaman saat ruang-ruang di dalamnya ditelusuri. Baru ditelusuri saja sudah merasa asing, apalagi untuk dihuni dan dipakai sepanjang waktu. Buatlah bangunan tersebut memberi kenyamanan optimal sehingga si penghuni merasa memilih arsitek yang tepat. Dengan begitu, mudah-mudahan rejeki berikutnya akan mengalir lancar,” kata seorang mahasiswa yang punya ingatan baik tentang ’petuah sakti’nya.
Selama 6 tahun menjadi dosen, Sofyan sering ditawari pekerjaan oleh kenalan masa lalunya untuk mendesain gedung atau perumahan. Tentu saja proyek ini nilainya besar bukan kepalang. Sayangnya, ia masih trauma dengan pengalaman buruknya yang lampau. Proyek-proyek menggiurkan seperti ini selalu ditolak dengan alasan tanggung jawabnya sebagai dosen yang memiliki jadwal mengajar padat. Keputusannya kerap membuat marah sang istri. Biasanya Widya akan berkata dengan nada ketus dan kesal seperti ini : ”Ada yang menawari uang banyak kok tidak dimanfaatkan!” Jika sudah begini, ia menepisnya dengan tenang dan sok bijak. Situasi negara yang tak menentu sehingga proyek tersebut berisiko tinggi adalah alasan andalannya.
”Pak Sofyan, Anda dipanggil bapak rektor,” seru Irawan yang juga seorang pengajar.
Oh iya, saya akan menemui beliau,” jawabnya dengan sedikit kaget karena tengah sibuk memeriksa tugas para mahasiswa di ruang dosen.
”Selamat siang, Pak!” sapanya kepada Budiman Harjanto, sang rektor fakultas teknik.
”Siang juga, Pak. Mari silahkan duduk.”
”Bapak memanggil saya, ada apa?”
“Begini, saya butuh bantuan bapak. Seiring bertambahnya mahasiswa Desain dan Teknik Arsitektur beberapa tahun belakangan ini, pihak universitas telah memutuskan akan membangun gedung baru berlantai empat khusus untuk dua fakultas ini,” jelas Budiman.
Wah, jika proyeknya seperti ini saya akan senang sekali membantu apalagi ikut berpartisipasi dalam membuat desainnya.”
”Tepat sekali! Itulah yang dari pertama dipikirkan oleh pihak universitas. Buat apa cari arsitek dari tempat lain, wong universitas kita punya dosen yang gak cuma pintar mengajar tapi juga telah berhasil berkreasi di berbagai wilayah Indonesia. Rencananya proyek ini akan dimulai 3 bulan lagi. Gimana, bersedia?”
Penawaran menarik ini diterima Sofyan dengan penuh sukacita. Rasanya senang sekali sampai ia ingin berteriak. Kerinduannya Untuk merancang bangunan lagi kini sirna sudah. Apalagi ini adalah bangunan baru gedung perkuliahan tempat ia akan mengajar serta mahasiswa datang dan pergi. Jelas saja pak Budiman sangat mengharapkan peran Sofyan dalam pembangunan ini sampai-sampai ia telah menyiapkan calon dosen pengganti karena ia tahu bahwa ’menelantarkan’ mahasiswa sama sekali bukan gaya dosen yang satu ini. Sofyan akan tetap mengajar tetapi jadwalnya dikurangi. Urusan perjanjian kerja, pembayaran, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan proyek tersebut akan dibicarakan kembali dengan rektor minggu depan.
Hari ini hari Jumat, Sofyan tak sabar memberitahukan kabar gembira tersebut pada istri dan kedua anaknya. Ketika ia sampai di rumah, Widya langsung dipeluknya sambil menceritakan proyek gedung baru yang dipercayakan kepadanya. Istrinya sangat senang hingga hampir menangis terharu dan tak lupa memberinya selamat. Ia pun berterimakasih pada istrinya karena selalu mendukung hingga kini mendapat proyek besar yang dinilainya ’cukup aman’.
”Telepon anak-anak suruh besok pulang dari kos-kosan. Bapak punya kabar baik dan mau traktir makan!” ujar Sofyan pada istrinya.
Keesokan harinya tepat pukul 10 pagi dihari Sabtu, kedua anaknya pulang ke rumah. Anita yang mendapat beasiswa di fakultas kedokteran dan Antoni yang mendapat beasiswa di fakultas ekonomi akuntansi. Mereka berempat saling memberi salam, menanyakan kabar dan bercerita lantaran kedua anak ini sudah dua bulan lebih tidak pulang karena sedang ujian akhir semester.
Sementara sedang bersiap untuk pergi makan siang setelah saling bertukar cerita singkat, Sofyan mendengar keributan dari tetangga sebelah. Ia melihat sekelompok orang sedang beradu mulut sengit dengan Pak Burhan. Ia hanya berani mengintip dari kejauhan. Mencampuri urusan orang lain yang sedang bersilat lidah bukanlah hal yang tepat. Obrolan sengit ini pun berakhir mengejutkan. Keempat mobil milik Burhan dibawa, mungkin lebih tepatnya disita.
15 menit setelah peristiwa itu, terdengar kabar dari mbok Minah bahwa sekelompok orang tersebut adalah para penagih hutang dari bank tempat Burhan meminjam uang. Pintar juga datang hari Sabtu pagi saat orang-orang sedang ingin santai dan bangun siang, batin Sofyan. Widya pun terkejut mengetahuinya, ternyata selama ini tetangganya kaya hutang.
Waktu menunjukkan pukul 11.30. Sofyan sekeluarga segera berangkat menuju mall untuk makan siang bersama walaupun kepalanya masih dipenuhi tanda tanya mengenai kejadian yang dialami oleh tentangga sebelah rumah. Sesampainya di mall, seperti biasa para sales kartu kredit menyambut dengan ramah diiringi janji-janji penuh pesona.
”Kartu kreditnya, Pak. Gratis iuran setahun pertama. Bapak sudah punya kartu kredit?” tanya seorang sales kepada Sofyan.
”Sudah banyak, Mas.”
”Apa aja, Pak?”
”Ini dia,” katanya sambil menunjukkan sebuah kartu kredit keluaran bank yang reputasinya sudah mendunia.
Ah.. baru satu, Pak. Tambah lagi dong, diskon dan kerjasama dengan restorannya banyak lho! Apalagi untuk shopping ibu,” rayu si sales.
“Kartunya memang cuma satu tapi tagihannya sudah banyak, pusing saya! Jadi ya jangan ditambah-tambah lagi, ” ujarnya sambil tertawa.
Aahh.. bapak bisa aja!” kata si sales.
Widya beserta kedua anaknya dan si sales ikut tertawa mendengar gurauan Sofyan. Sales itu pun pergi lalu mereka sekeluarga berjalan menuju restoran yang menyajikan soto betawi favorit.
Sesampainya di restoran mereka langsung memesan makanan. Sambil menunggu pesanan, Sofyan berkata dalam hati. Dasar dunia, ternyata yang dari luar terlihat sangat ’wah’ belum tentu dalamnya juga ’wah’. Bisa jadi dalamnya malah ’aduh’ bahkan ’ya ampun!’. Kejadian yang dialami tetangganya tadi pagi plus gurauan kartu kredit mengingatkannya pada sebuah filosofi hidup. Ia pun yakin, istrinya turut memahami lebih dalam tentangnya saat ini. Seperti merancang sebuah bangunan, antara luar dan dalam terdapat banyak pilihan untuk menentukan bagaimana penampakan serta bentuknya. Namun, sesuatu yang esensial dalam hidup sudah selayaknya mendapat perhatian lebih dari pada hal-hal yang hanya terlihat oleh mata. Orang-orang sering hanya melihat apa yang ingin dilihat tetapi lupa dengan fakta dan realita.
Ah.. sudahlah, yang penting buatnya saat ini adalah menikmati makan siang bersama keluarga sambil menceritakan proyek gedung baru yang tak lama lagi akan ia kerjakan dengan antusias sekaligus mengisi pundi-pundi emasnya dengan deras seperti air terjun.
”Mari makan!” serunya sambil mulai menyeruput kuah soto setelah mengawalinya dengan doa bersama serta senyum penuh kemenangan.

Jakarta, 31 Agustus 2009
AYU SAPTARIKA
Seluruh cerita dan tokoh adalah fiktif.
Image : http://www.colorbond.com/, http://www.teonline.com/.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Musical Time: Let's Learning!

Music has been part of my life since I was young, Everyday I wake up with music and also go to bed with music, Just like an a...