Minggu, 29 November 2009

Walking Back On Track


Kata orang, jodoh akan datang sendiri jika seseorang sudah siap lahir batin. Siap dengan definisi bahwa sudah 'berjalan' di jalur kehidupan yang memang diciptakan untuknya. Jalur itu sudah terlukis di telapak tangan ketika seseorang dilahirkan. Akan tetapi seiring perjalanan kehidupan, banyak godaan dan cobaan yang membuat seseorang hilang dan tersesat.

Tentu Anda pernah mengalami masa puber ketika remaja. Menurut para ahli kejiwaan, masa tersebut adalah momen transisi di mana seorang anak tengah mencari jati diri.
Aku ini siapa ya?
Aku ini minatnya apa?
Aku ini mau jadi apa?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin sering dilontarkan kepada diri sendiri ketika remaja. Namun, bagi rekan-rekan yang sempat 'tersesat', tidak menutup kemungkinan bahwa momen ini akan terulang kembali.
Pepatah malu bertanya sesat di jalan memang terbukti benar dan tak terkecuali dalam pencarian jalan hidup. Momen transisi bisa terjadi lagi saat seseorang mulai menghadapi kehidupan nyata. Sebuah realita yang di dalamnya terdapat aneka bentuk kebaikan maupun kekejaman. Ya, pertanyaan-pertanyaan di atas kembali dilantunkan pada diri sendiri. Saran saya, jangan lagi bertanya atau minta pendapat orang lain. Tanyakan hanya pada diri sendiri sampai mendapat jawaban yang memuaskan!

Langkah kaki Anda dengan saudara, teman, keluarga dan rekan-rekan lainnya mungkin terlihat hampir sama secara fisik. Akan tetapi mengenai jalan dan jalur tempat kaki dilangkahkan dijamin tidak ada satupun yang sama meskipun seseorang memiliki saudara kembar.
Apa yang terjadi jika Anda ingin berada di jalur yang sama dengan orang lain atau entah bagaimana ada orang lain yang menginginkan Anda berjalan di jalur yang bukan diyakini? Jawabannya adalah sebuah penyangkalan diri. Anda akan menjadi 'orang lain' yang pada akhirnya merasa sangat asing dan hilang dengan diri sendiri.

Seorang aktor dan aktris teater atau televisi yang biasa bersandiwara pasti memiliki waktu beristirahat. Walau istirahat hanya 1 jam untuk makan, namun momen ini turut dimanfaatkan untuk melepas rindu untuk menjadi diri sendiri setelah lelah berperan sebagai orang lain. Bayangkan jika dalam kehidupan nyata, Anda hidup selama 24 jam dengan berpura-pura. Anda pasti akan frustasi dan hei, awas hati-hati jangan sampai berakhir di sanatorium atau malah bunuh diri! Berpikirlah yang realistis, jangan terus berkhayal. Mempunyai mimpi dan cita-cita tinggi tidaklah salah, tapi realita adalah hal utama yang harus dihadapi.

Tak ada kata terlambat untuk menyadari sesuatu yang salah dalam hidup. Tidak ada kata terlambat untuk bertekad agar tak tersesat lagi. Menyadari di mana 'salah belok' dalam jalur kehidupan memang bukan hal yang gampang. Akan tetapi menyadarinya adalah awal dari sebuah perjalanan baru yang nantinya dihiasi oleh lampu-lampu terang. Siapa tahu, di ujung jalan bertemu dengan kesuksesan. Saya rasa, siapapun pasti tidak akan menolaknya.

Bila pikiran tenang, hatipun ikut tenang dan penyakitpun jarang 'hinggap' di tubuh. Dengan begitu, kaki akan tahu kemana harus melangkah. Tangan akan tahu apa saja yang harus dikerjakan. Namun jangan lupa, bersiap selalu untuk hal-hal tak terduga yang bisa terjadi diluar kuasa Anda. Sehingga, ketika rencana kurang berjalan lancar, kecewa yang dirasa tidak menusuk hingga 'melumpuhkan'.
Selanjutnya bersiaplah, mungkin Anda akan menjumpai seseorang yang ditunggu-tunggu. Lihat saja, sebentuk cincin akan menghiasi jari manis dengan segera!

Don't cry too long when you are lost. Don't let the fire of sadness and dissapointment burn your mind and soul. Wake up and never give up to find your perfect path in life. God bless you!


Senin, 09 November 2009

FORGETFUL SOUL



I’m sensing a great energy
But I don’t know what it is
I try to analyze what it should be
But my soul fly away and lost in fear

I'm searching it in all the walks of life
But I am still confuse to recognize which one
Keep on asking how to resolve this lack
Using my own brain because it is the perfect judge

I retrace my past finding the way back home
I did it good and the result is wow
I am sure God has a great plan to be taking care of
Especially for me who finally found my forgetful soul



Jakarta, 19 September 2009
AYU SAPTARIKA

THE KILLER QUEEN



Boy friends, girl friends can come and go
So don’t be sad, let’s just take it slow
I hear nothing but music everywhere I go
I think nothing but art even when I’m low

People hit the club wandering for mate
But I am there for trench, having fun in dance
Some people say if art is only a ‘side dish’
Oh, I don’t think so because for me it is the perfect bliss

Ring.. ring.. ring.. the telephone is ringing
I pick up and smiling because my new boyfriend is calling
I love writing and singing but how could you said that I’m kidding
Well, watchout boy because The Killer Queen is coming!


Jakarta, 25 September 2009.
AYU SAPTARIKA

TIGER



The tiger is sick like hell
Even from the outside it looks so well
The tiger would likes to tell
But it seems the other doesn’t care

You might impressed by its grace
You do tempted by its face
It might has a powerful strength
But it also has a fragile sense

Mesmerized by its charisma
See its beauty from high wall
Think it was created to be the king of heart
But it doesn’t heal the pain of sharp claw

The tiger needs a help
The tiger needs its friend
The others who would like to dwell
Until it feels fresh and well


Jakarta, 10 August 2009
AYU SAPTARIKA

STRONG SPIRIT ME


Aerosmith say “Jenny got a gun!”
They sing a song under the ray of sun
I walked away from a great long haul
Finding my self back then having so much fun

Mr. Bean drives an old mini cooper
He makes people laugh because he is a back number
I’ve been seek the gold in the name of super
And I realize that I’m not yet the real tough fighter

Twiggy was on the headline long time ago
Became the role model even not the right girl for Mr. Bond
I feel extremely bored and try to go
But my future is smiling and says “Hold on!”

Queen embrace the sport in “Bicycle Race”
Grease everybody’s palm with their energetic pace
My father said “Just do your best”
Of course I’ll do it to grab my big success!



Jakarta, 23 September 2009
AYU SAPTARIKA
Image : by Jane Starr Weils http://www.storeonline.com/.

ONE LAST DAY


I open my eyes to see
But why there’s only a black shadow around here
I hear someone calling on me
Wanting me back for coming to their feast

I can’t move and stand
I can’t say “Hi!” and scream aloud
I feel quiet like there’s no rhythm of marching band
So, I struggle hard to break this ultimate silent bound

He wants me to come back
But I make a deal to have one more day rather than a bet
I am glad because He said yes!
And right now I can open my eyes again to see the best

I see the rainbow and bright light
I see a lot of happy faces, full of delight
This is my last time before get ready to take a long flight
Fly high to the seventh sky back to the source of light

Jakarta, 5 Oktober 2009
AYU SAPTARIKA
Image : www.imagecache5.art.com by Laurie Cooper.

Antara Luar dan Dalam





“Pak, lihat tuh! Tetangga sebelah beli mobil baru. Mobil khusus buat si nyonya, kata supirnya, Saimin,” seru Widya.
”Terus kenapa, Bu? Kalau memang Pak Burhan tetangga kita mendapat rejeki melimpah apakah itu salah?” tanya Sofyan.
”Ya tidak salah. Tapi masa sih seorang Burhan yang hanya lulusan S1 lokal dan cuma bisnis toko kue kecil-kecilan bisa punya rumah lebih besar dan mobilnya lebih dari tiga?”
Lha, kalau memang pak Burhan giat bekerja dan akhirnya bernasib baik, bapak rasa ia pantas menikmatinya.”
Ah, bapak nih! Bapak juga bisa lebih hebat dari dia. Tapi bapak terlalu main aman dan kurang memanfaatkan kesempatan!”
”Bu..bu.. Apa kehidupan kita saat ini kurang bahagia? Anak dua-duanya mendapat beasiswa di universitas negeri, tinggal di rumah yang nyaman walau tak semewah tetangga dan bisa jalan-jalan walau mobil cuma ada satu.”
Sofyan Mahendra adalah seorang sarjana teknik arsitektur. Ia berotak cemerlang dan berhasil mendapat beasiswa di German untuk gelar masternya. Ia juga pandai bergaul dan memiliki selera humor. Dikalangan para arsitek Indonesia, namanya cukup terkenal. Ia menangani banyak proyek mulai dari gedung, apartemen eksklusif, hingga perumahan kelas menengah. Kreasinya tidak pating clekutik, tepat guna, nyaman dan apik. Ia lihai dalam memanfaatkan lahan. Tidak seluruhnya dijadikan beton berhias daun pintu dan kaca jendela. Ciptaanya memiliki proporsi seimbang antara bangunan dan tempat hidup tumbuhan. Tak heran buah pikirnya kerap digemari para pecinta hunian yang nyaman dan asri.
Kehidupan dengan istrinya, Widya Hartanti, telah dijalani lebih dari 25 tahun dan dikaruniai dua orang anak bernama Anita dan Antoni. Widya adalah seorang ibu rumah tangga yang mengisi hari-harinya dengan memasak bagi banyak keluarga di sekitar alias melayani jasa katering rantang. Setiap pukul 4 subuh ia dan pembantunya, mbok Minah, berbelanja ke pasar tradisional untuk membeli bahan makanan yang akan dimasak bagi para pelanggan dan juga keluarganya sendiri.
Ia adalah seorang perempuan yang pintar, mandiri, juga cantik. Berulang kali suaminya menawarkan jasa supir, ia selalu menolak. Ia memilih menyetir sendiri ditemani mbok Minah yang duduk di sebelahnya. Untung saja walaupun mobil hanya satu tapi bertransmisi automatic. Setidaknya kalau ’kencan’ dengan kemacetan metropolitan, mulutnya tidak mengeluarkan keluhan banyak dan lututnya tidak berasa mau copot serta gemetaran. Lagi pula, inilah gunanya teknologi tuturnya saat ditanya sang suami sebelum membeli mobil tersebut.
Awalnya, Sofyan bekerja pada sebuah perusahaan pembangun gedung dan tempat tinggal pimpinan kawannya. Ia mengenalnya ketika bersama-sama menuntut ilmu di negara yang terkenal dengan sosok pria berkumis dan berlambang swastika. Sayangnya, nasib buruk menimpanya ketika terjadi kerusuhan besar pada tahun 1998. Jika peristiwa ini tidak terjadi, ia bisa menjadi miliyuner karena mengerjakan proyek pembangunan apartemen mewah di Singapura. Ia pun telah berencana memboyong anak dan istrinya ke negara tetangga tersebut.
Tiga hari sebelum timnya bertolak ke negara tetangga, terjadi kerusuhan masal di Jakarta. Pertokoan dirusak, barang-barang dijarah, dan aksi bakar-membakar yang membabi buta menjadi pemandangan tak terlupakan di ibukota. Denting pecahan kaca gedung dan pertokoan yang dihancurkan oleh orang-orang kalap, senantiasa menggores serta melukai siapapun didekatnya yang lari tunggang-langgang mencari selamat maupun yang berhasil membawa jarahan hingga berdarah. Ibukota benar-benar kacau hingga berakibat buruk pada kondisi ekonomi negara. Dalam peristiwa ini berbagai kerugian dari segi materi maupun moral serta psikis lantaran menderita trauma dialami oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Perusahaan tempat Sofyan bekerja juga kena imbasnya. Gedung kantornya tidak ’gaya’ lagi dan yang paling parah kantornya tidak ’hidup’ lagi. Perusahaan tidak mampu melunasi hutangnya akibat inflasi gila-gilaan paska kerusuhan yang membuat nilai rupiah serata dengan tanah. Pemiliknya pun segera angkat kaki dari tanah air dan kabarnya saat ini berada di Australia entah kerja apa.
Sejak itu, Sofyan menjadi pengangguran. Untung saja ia dan istrinya cukup pandai mengatur keuangan. Uang yang diperoleh ketika ia masih berjaya selalu disisihkan untuk ditabung, didepositokan serta dibelikan beberapa batang emas sebagai pilihannya dalam berinvestasi jangka panjang. Keluarganya selamat dari jerat krisis ekonomi selama beberapa waktu walau sang kepala keluarga kehilangan pekerjaan. Tentu saja keberhasilan ini bisa tercapai karena Widya yang mau memulai usaha katering rantang serta berkorban untuk tidak beli ini-itu sebab uang diprioritaskan untuk makan dan bayar uang sekolah anak. Ia bersyukur memiliki istri pengertian walaupun sebenarnya juga frustasi karena tidak memiliki pekerjaan.
Tahun silih berganti namun trauma tetap membekas di hati Sofyan. Kini ia bekerja sebagai dosen tetap di fakultas teknik arsitektur di sebuah universitas swasta. Sifat pantang menyerahnya ’mematikan’ ingatan tentang mendapatkan harta karun yang tinggal selangkah lagi di kala itu. Ia termasuk dosen favorit. Muridnya selalu antusias bila mendengarkan penjelasannya yang to the point dan sesekali diselingi humor penangkal kantuk. Jika penasaran mengapa ia menjadi pengajar yang disukai, biasanya para mahasiswa dan mantan mahasiswanya memiliki jawaban serupa.
Ia mengajarkan lebih dari sekedar ilmu arsitektur. ”Ketika merancang bangunan apalagi rumah, bayangkanlah bahwa kita si perancang adalah si calon pemakai atau penghuni. Tidak ada gunanya merancang bangunan yang dari luar terlihat spektakuler namun sama sekali tidak nyaman saat ruang-ruang di dalamnya ditelusuri. Baru ditelusuri saja sudah merasa asing, apalagi untuk dihuni dan dipakai sepanjang waktu. Buatlah bangunan tersebut memberi kenyamanan optimal sehingga si penghuni merasa memilih arsitek yang tepat. Dengan begitu, mudah-mudahan rejeki berikutnya akan mengalir lancar,” kata seorang mahasiswa yang punya ingatan baik tentang ’petuah sakti’nya.
Selama 6 tahun menjadi dosen, Sofyan sering ditawari pekerjaan oleh kenalan masa lalunya untuk mendesain gedung atau perumahan. Tentu saja proyek ini nilainya besar bukan kepalang. Sayangnya, ia masih trauma dengan pengalaman buruknya yang lampau. Proyek-proyek menggiurkan seperti ini selalu ditolak dengan alasan tanggung jawabnya sebagai dosen yang memiliki jadwal mengajar padat. Keputusannya kerap membuat marah sang istri. Biasanya Widya akan berkata dengan nada ketus dan kesal seperti ini : ”Ada yang menawari uang banyak kok tidak dimanfaatkan!” Jika sudah begini, ia menepisnya dengan tenang dan sok bijak. Situasi negara yang tak menentu sehingga proyek tersebut berisiko tinggi adalah alasan andalannya.
”Pak Sofyan, Anda dipanggil bapak rektor,” seru Irawan yang juga seorang pengajar.
Oh iya, saya akan menemui beliau,” jawabnya dengan sedikit kaget karena tengah sibuk memeriksa tugas para mahasiswa di ruang dosen.
”Selamat siang, Pak!” sapanya kepada Budiman Harjanto, sang rektor fakultas teknik.
”Siang juga, Pak. Mari silahkan duduk.”
”Bapak memanggil saya, ada apa?”
“Begini, saya butuh bantuan bapak. Seiring bertambahnya mahasiswa Desain dan Teknik Arsitektur beberapa tahun belakangan ini, pihak universitas telah memutuskan akan membangun gedung baru berlantai empat khusus untuk dua fakultas ini,” jelas Budiman.
Wah, jika proyeknya seperti ini saya akan senang sekali membantu apalagi ikut berpartisipasi dalam membuat desainnya.”
”Tepat sekali! Itulah yang dari pertama dipikirkan oleh pihak universitas. Buat apa cari arsitek dari tempat lain, wong universitas kita punya dosen yang gak cuma pintar mengajar tapi juga telah berhasil berkreasi di berbagai wilayah Indonesia. Rencananya proyek ini akan dimulai 3 bulan lagi. Gimana, bersedia?”
Penawaran menarik ini diterima Sofyan dengan penuh sukacita. Rasanya senang sekali sampai ia ingin berteriak. Kerinduannya Untuk merancang bangunan lagi kini sirna sudah. Apalagi ini adalah bangunan baru gedung perkuliahan tempat ia akan mengajar serta mahasiswa datang dan pergi. Jelas saja pak Budiman sangat mengharapkan peran Sofyan dalam pembangunan ini sampai-sampai ia telah menyiapkan calon dosen pengganti karena ia tahu bahwa ’menelantarkan’ mahasiswa sama sekali bukan gaya dosen yang satu ini. Sofyan akan tetap mengajar tetapi jadwalnya dikurangi. Urusan perjanjian kerja, pembayaran, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan proyek tersebut akan dibicarakan kembali dengan rektor minggu depan.
Hari ini hari Jumat, Sofyan tak sabar memberitahukan kabar gembira tersebut pada istri dan kedua anaknya. Ketika ia sampai di rumah, Widya langsung dipeluknya sambil menceritakan proyek gedung baru yang dipercayakan kepadanya. Istrinya sangat senang hingga hampir menangis terharu dan tak lupa memberinya selamat. Ia pun berterimakasih pada istrinya karena selalu mendukung hingga kini mendapat proyek besar yang dinilainya ’cukup aman’.
”Telepon anak-anak suruh besok pulang dari kos-kosan. Bapak punya kabar baik dan mau traktir makan!” ujar Sofyan pada istrinya.
Keesokan harinya tepat pukul 10 pagi dihari Sabtu, kedua anaknya pulang ke rumah. Anita yang mendapat beasiswa di fakultas kedokteran dan Antoni yang mendapat beasiswa di fakultas ekonomi akuntansi. Mereka berempat saling memberi salam, menanyakan kabar dan bercerita lantaran kedua anak ini sudah dua bulan lebih tidak pulang karena sedang ujian akhir semester.
Sementara sedang bersiap untuk pergi makan siang setelah saling bertukar cerita singkat, Sofyan mendengar keributan dari tetangga sebelah. Ia melihat sekelompok orang sedang beradu mulut sengit dengan Pak Burhan. Ia hanya berani mengintip dari kejauhan. Mencampuri urusan orang lain yang sedang bersilat lidah bukanlah hal yang tepat. Obrolan sengit ini pun berakhir mengejutkan. Keempat mobil milik Burhan dibawa, mungkin lebih tepatnya disita.
15 menit setelah peristiwa itu, terdengar kabar dari mbok Minah bahwa sekelompok orang tersebut adalah para penagih hutang dari bank tempat Burhan meminjam uang. Pintar juga datang hari Sabtu pagi saat orang-orang sedang ingin santai dan bangun siang, batin Sofyan. Widya pun terkejut mengetahuinya, ternyata selama ini tetangganya kaya hutang.
Waktu menunjukkan pukul 11.30. Sofyan sekeluarga segera berangkat menuju mall untuk makan siang bersama walaupun kepalanya masih dipenuhi tanda tanya mengenai kejadian yang dialami oleh tentangga sebelah rumah. Sesampainya di mall, seperti biasa para sales kartu kredit menyambut dengan ramah diiringi janji-janji penuh pesona.
”Kartu kreditnya, Pak. Gratis iuran setahun pertama. Bapak sudah punya kartu kredit?” tanya seorang sales kepada Sofyan.
”Sudah banyak, Mas.”
”Apa aja, Pak?”
”Ini dia,” katanya sambil menunjukkan sebuah kartu kredit keluaran bank yang reputasinya sudah mendunia.
Ah.. baru satu, Pak. Tambah lagi dong, diskon dan kerjasama dengan restorannya banyak lho! Apalagi untuk shopping ibu,” rayu si sales.
“Kartunya memang cuma satu tapi tagihannya sudah banyak, pusing saya! Jadi ya jangan ditambah-tambah lagi, ” ujarnya sambil tertawa.
Aahh.. bapak bisa aja!” kata si sales.
Widya beserta kedua anaknya dan si sales ikut tertawa mendengar gurauan Sofyan. Sales itu pun pergi lalu mereka sekeluarga berjalan menuju restoran yang menyajikan soto betawi favorit.
Sesampainya di restoran mereka langsung memesan makanan. Sambil menunggu pesanan, Sofyan berkata dalam hati. Dasar dunia, ternyata yang dari luar terlihat sangat ’wah’ belum tentu dalamnya juga ’wah’. Bisa jadi dalamnya malah ’aduh’ bahkan ’ya ampun!’. Kejadian yang dialami tetangganya tadi pagi plus gurauan kartu kredit mengingatkannya pada sebuah filosofi hidup. Ia pun yakin, istrinya turut memahami lebih dalam tentangnya saat ini. Seperti merancang sebuah bangunan, antara luar dan dalam terdapat banyak pilihan untuk menentukan bagaimana penampakan serta bentuknya. Namun, sesuatu yang esensial dalam hidup sudah selayaknya mendapat perhatian lebih dari pada hal-hal yang hanya terlihat oleh mata. Orang-orang sering hanya melihat apa yang ingin dilihat tetapi lupa dengan fakta dan realita.
Ah.. sudahlah, yang penting buatnya saat ini adalah menikmati makan siang bersama keluarga sambil menceritakan proyek gedung baru yang tak lama lagi akan ia kerjakan dengan antusias sekaligus mengisi pundi-pundi emasnya dengan deras seperti air terjun.
”Mari makan!” serunya sambil mulai menyeruput kuah soto setelah mengawalinya dengan doa bersama serta senyum penuh kemenangan.

Jakarta, 31 Agustus 2009
AYU SAPTARIKA
Seluruh cerita dan tokoh adalah fiktif.
Image : http://www.colorbond.com/, http://www.teonline.com/.

Si Bodoh Pengabdi Ulung














Namanya Tulkijah. Lelaki asal Kebumen berusia 23 tahun. Ia bertubuh tinggi, kurus, kulit cokelat kusam, pipi kempot dan rambut acak-acakan. Ia ingin ke kota mengadu nasib yang konon orang-orang dusun sekitar menganggap hal itu sangat sepele seperti mengadu ayam. Jika menang dapat untung, jika kalah dapat kecewa lalu pulang. Lelaki desa yang lugu ini lahir dari kalangan kurang beruntung. Sejak Jakarta masih bernama Batavia keluarganya menjadi abdi dapur dan rumah tangga para kompeni di Purwokerto. Orang tuanya tidak memiliki uang untuk menjadikanya lelaki berotak cemerlang. Keterampilan yang dimiliki hanya ala kadarnya. Apa mau dikata sekolah dasar saja tidak tamat karena tak ada biaya.
Tulkijah nekad merantau ke kota. Dalam fantasi sederhananya ia bertujuan mencari peluang menang seperti permainan adu ayam yang biasa dilakukan di kampung halaman. Tangis pilu bercampur haru dari keluarganya mengiringi ia berlalu dari peron stasiun kereta ketika sang surya berwarna jingga terbit memberikan senyum penuh harapan pada jam enam pagi.
Perjalanan dengan kereta yang penuh perhentian dirasakanya bagai perjalanan menuju Antartika. Kok tidak lekas sampai di Jakarta, ujarnya dalam hati yang mulai galau. Kegalauannya membuat ia lelah kemudian terlelap sambil memeluk tas berbahan goni yang isinya beberapa pakaian ganti dan uang seadanya.
”Aqua, qua, qua, qua...”
”Bu... seribu!” “Mijon-nya, mijon-nya, mijon-nya..”
teriak seorang pedagang asongan yang sulit mengucapkan kata Mizone, sebuah minuman elektrolit yang tengah digemari. Teriakan sang pedangan memekakkan telinganya
yang terlelap hingga kaget dan terbangun. Ia sudah sampai di stasiun Kota. Sambil terhuyung-huyung karena masih mengantuk ia jalan perlahan menuju pintu gerbong kereta. Para pedagang asongan di luar berteriak-teriak bergantian bahkan ’bertindihan’ sehingga para calon pembeli bingung barang apa saja yang mereka jual. Air, kacang, permen, tissu, tahu, dan entah apa lagi.
Ketika menjejakkan kaki di stasiun, ia merasa melayang seperti berjalan di bulan. Ia segera menyeka keringatnya dan memanggil seorang pedagang asongan untuk membeli sebotol air mineral. Tegukan demi tegukan air yang sejuk melepas dahaga yang tertahan sejak ia tidur. Sambil menikmatinya, Tulkijah yang telah kembali segar segera berlalu mencari bus ke arah Tangerang, ke rumah paman Sobikun. Sesampainya di terminal kota Tangerang, paman Sobikun sudah menunggu tak jauh dari bus parkir lalu menyambutnya.

”Apa kabar, Paman? Gimana Jakarta?”
Ah, ibukota ternyata lebih kejam daripada ibu tiri! Makanya paman milih tinggal di pinggiran,” katanya sambil mengajaknya jalan mencari becak. Tulkijah hanya senyum dan garuk kepala tanda tidak mengerti. Ia tidak tahu nasib seperti apa yang akan ia dapat dari proses mengadunya yang akan segera dimulai.
Kendaraan roda tiga yang digenjot dari belakang sudah langka di kota Jakarta. Kemajuan zaman membuat bus-bus besar berbahan bakar gas mendominasi trayek-trayek favorit bagi masyarakat kota yang meminta perbaikan infrastruktur serta fasilitas demi mencapai taraf hidup lebih modern. Paman Sobikun dan Tulkijah terbuai sejenak dalam alunan angin sepoi-sepoi yang bertiup ke wajah saat naik becak.
”Stop kiri di gang dekat tiang listrik, Pak!” kata sang paman. Ia mengeluarkan selembar uang lima ribu rupiah lalu mengajak ponakannya menyusuri gang kecil dengan parit berair hitam hingga sampai ke rumahnya.
Rumah pamannya boleh dibilang mengadaptasi gaya arsitektur kontemporer skala melarat. Perpaduan antara karya arsitek asal Belanda, Rem Koolhaas, yang bersudut-sudut layaknya Seattle Central Library dan karya Tadao Ando yang simple di atas lahan sangat terbatas. Rumah itu terbuat dari kardus bekas, triplek dan anyaman gedek. Tidak lurus, tidak juga miring tetapi jelas meleyot di sana-sini. Lantainya bukan marmer merek Essenza tapi hanya tanah dialasi kain terpal yang kerap jadi lembab dan dingin dikala musim hujan.
Ia mengajak ponakannya itu masuk. Tulkijah tidak menyangka bila paman yang tinggal di kota ternyata hidup lebih melarat walau pernah sekali pulang kampung sambil bercerita tentang gedung tinggi, mobil Mercedes, sekelompok lelaki bersetelan jas mahal, hingga Taman Impian Jaya Ancol.

Paman Sobikun memperkenalkan Tulkijah pada istrinya, Aminah, yang sedang menyiapkan makan malam. Penghasilan dari penjualan kardus serta botol bekas yang dikumpulkan hari ini tidak banyak. Apalagi, keluarga pemulung ini kedatangan tamu. Malam ini terpaksa mereka bertiga hanya makan nasi, garam, cabe rawit, dan krupuk. Melihat keadaan ini, Tulkijah dengan sadar diri berkeinginan untuk segera mendapat pekerjaan. Sepertinya ’menumpang’ paman yang melarat bisa-bisa membuatnya diusir dalam waktu tak lebih dari tiga hari karena menjadi beban.
Selama di perjalanan, Tulkijah mencermati bahwa banyak perusahaan keramik dan tekstil di daerah ini. Pamannya pun mengiyakan karena Tangerang memang termasuk kota industri.
”Saya ingin mengisi waktu jadi kuli angkat barang sambil mencari pekerjaan lain agar bisa mendapat uang untuk makan bersama paman dan bibi,” kata Tulkijah tulus.
”Baiklah! Besok pagi paman kenalkan kamu ke Pak Dadang. Mandor di salah satu perusahaan keramik. Siapa tahu kamu bisa bantu jadi kuli angkut. Lumayan, upahnya bisa buat makan tiga hari.”
Santap malam ekstra sederhana serta obrolan singkat berakhir. Bibi Aminah mencuci piring kotor yang pinggirannya sudah gompel di area dapur minimalis berukuran 1,5m x 2m. Tulkijah tidak melihat ada ruang lagi selain dapur kecil dan tempat mereka makan bersama yang berukuran 3m x 2m. Di ’aula serbaguna’ inilah mereka tidur, berbincang, makan dan bergurau. Lalu kamar mandi? Jalan ke belakang rumah sekitar 5 menit jauhnya akan ada sungai yang di atasnya terdapat ruang berbentuk kubus dengan kaki panjang seperti orang pakai egrang. Tempat ini biasa digunakan penduduk untuk mandi dan buang air.
Keesokkan harinya, paman kembali bekerja mengumpulkan kardus dan botol plastik bekas sembari memperkenalkan ponakannya pada mandor perusahaan keramik. Pagi itu terasa singkat untuk Tulkijah. Biasanya di kampung ia menyantap ubi madu rebus dan minum wedang jahe untuk sarapan. Kini, hanya ada teh hangat seduh tanpa gula yang hampir basi karena sudah diseduh lebih dari 3x. Terakhir, teh ini menemani santap malamnya. Setelah mengisi perut mereka keluar rumah mulai mengadu nasib.
Sampailah mereka di pabrik keramik tempat Pak Dadang jadi mandornya. Pamannya menyapa sang mandor dan membicarakan maksud kedatangannya ke sana.
Ah, kebetulan sampean kemari! Si Ucup lagi kena demam berdarah. Cuti entah sampai kapan. Bolehlah ponakanmu bekerja jadi anak buahku. Seminggu 6 hari kerja. Senin sampai Sabtu, jam 8 pagi sampai jam 6 sore. Upah Rp 35.000,00/hari. Gimana?”
”Boleh, Pak!” jawab Tulkijah antusias.
Hari itu berlalu dengan semangat karena Tulkijah mendapat peran baru sebagai kuli angkut keramik dari pabrik ke truk untuk didistribusikan ke seluruh Indonesia, Singapura, Malaysia dan Philipina. Mendekati jam 6 sore yang merupakan waktu pembagian upah, punggungnya seperti dihujam ribuan jarum tajam yang membuatnya ngilu dan perih hingga ia terjatuh duduk dekat pos satpam di sebelah truk. Satpam yang berjaga menyapanya sambil memberi dua lembar koyo untuk pundaknya.
”Terimakasih ya, Pak. Aduh, punggung saya sakit sekali! Maklum hari pertama belum biasa,” jawab Tulkijah sambil meringis dan berpeluh.
Hari lekas berganti, tahun demi tahun turut bergulir. 2,5 tahun sudah ia menjadi kuli angkut di pabrik ini. Tubuhnya tak lagi kurus. Kini bahu, lengan dan betisnya berotot ditambah telapak kaki serta tangan yang kasar dan penuh kapalan. Sosok tubuh seorang kuli sejati.
Hari ini adalah hari ke-9 di bulan September tahun 2009. Kebetulan sang pemilik perusahaan datang berkunjung sambil membawa anak lelakinya, Handoyo Setiawan, yang baru saja pulang dari studi master di Amerika. Anak lelaki ini tampan, gaya, telah beristri dan memiliki 2 anak. Handoyo sangat tertarik dengan sosok Tulkijah, seorang kuli paling rajin di pabriknya. Ia menginginkannya menjadi penjaga rumah dan keinginannya tersebut disetujui oleh sang ayah.
”Hei, Mas! Mulai besok pagi kemasi barang mu dan ikut saya,” kata Handoyo kepadanya.
”Saya mau diajak ke mana, Pak?” tanya Tulkijah panik.
”Kamu akan menjadi penjaga rumah saya. Jaga anak, istri, mobil dan rumah dari maling. Sesekali bantu istri saya juga beres-beres rumah terutama kalau ada wastafel bocor atau keran air rusak.”
Tulkijah senang bukan kepalang. Beban di bahu terangkat sudah. Kardus-kardus berisi lempengan keramik seberat 10-15kg yang menjadi sahabat kedua punggungnya akan ditinggalkan.
Kini Tulkijah tinggal di rumah Handoyo, tuan muda pewaris tunggal perusahaan keramik yang dermawan. Ia tinggal di sebuah rumah tingkat nan megah seluas 2 hektar di wilayah Jakarta Selatan. Garasinya penuh 4 mobil Mercedes dalam berbagai seri dan warna, plus dua motor besar a la Renegade. Halaman rumahnya luas, hijau tertata rapi dengan bunga berwarna-warni dan kolam kecil air terjun berisi ikan koi merah-putih.
Tapi dasar Tulkijah bodoh. Keterampilannya terbatas dan jarang menggunakan akal sebab orangtuanya tidak punya biaya sekolah. Kerap kali jika tuan dan nyonya Handoyo meminta bantuannya pasti tidak dilakukan dengan benar. Disuruh A malah mengerjakan B. Disuruh A, B, C yang dikerjakan hanya C. Ada saja kelalaian yang ia buat karena keterbatasan dalam bernalar dan berpikir multitasking. Ia hanya handal dalam urusan kekuatan fisik.

Bukan salah Tulkijah jika ia kurang pandai dalam urusan keterampilan mengerjakan suatu perintah. Tuan dan nyonya juga harus sadar bahwa ia bukan lulusan Amerika. Ia tidak pintar dan butuh banyak bimbingan. Mungkin tuan dan nyonya sering kesal dan marah. Tapi jelas bahwa tuan dan nyonya butuh orang seperti dirinya. Orang dari kalangan kurang beruntung yang akhirnya ditakdirkan untuk melakukan suatu pekerjaan yang tak mungkin dilakukan oleh orang berada.
Namaku Tulkijah. Bila mencari donor otak, mungkin otak ku mahal harganya karena jarang dipakai. Tapi aku seorang pengabdi yang setia. Aku jujur dan tahu berterimakasih. Kini aku bisa makan daging walau sisa dari keluarga Handoyo Setiawan. Kini aku bisa bercerita bagaimana mewahnya mobil Mercedes dan deru menggetarkan dari knalpot motor Harley Davidson walau hanya sebatas melihat dan membersihkannya dari debu.
Aku memang tidak pandai. Tapi hanya ini yang bisa aku lakukan untuk memberi makna dalam hidupku. Aku si bodoh pengabdi ulung bernama Tulkijah. Bila ditanya apakah adu ayamku menang atau kalah, aku hanya bisa menjawab bahwa kehandalanku adalah menyaksikan para pengadu ulung bertanding dari kejauhan lalu merapikan arenanya setelah sang pemenang dinobatkan.


Jakarta, 22 Agustus 2009.
AYU SAPTARIKA
Semua tokoh dan cerita adalah fiktif.
Image : tbelfield.files.wordpress.com, http://www.irwan.net/.




Musical Time: Let's Learning!

Music has been part of my life since I was young, Everyday I wake up with music and also go to bed with music, Just like an a...