Senin, 09 November 2009

Si Bodoh Pengabdi Ulung














Namanya Tulkijah. Lelaki asal Kebumen berusia 23 tahun. Ia bertubuh tinggi, kurus, kulit cokelat kusam, pipi kempot dan rambut acak-acakan. Ia ingin ke kota mengadu nasib yang konon orang-orang dusun sekitar menganggap hal itu sangat sepele seperti mengadu ayam. Jika menang dapat untung, jika kalah dapat kecewa lalu pulang. Lelaki desa yang lugu ini lahir dari kalangan kurang beruntung. Sejak Jakarta masih bernama Batavia keluarganya menjadi abdi dapur dan rumah tangga para kompeni di Purwokerto. Orang tuanya tidak memiliki uang untuk menjadikanya lelaki berotak cemerlang. Keterampilan yang dimiliki hanya ala kadarnya. Apa mau dikata sekolah dasar saja tidak tamat karena tak ada biaya.
Tulkijah nekad merantau ke kota. Dalam fantasi sederhananya ia bertujuan mencari peluang menang seperti permainan adu ayam yang biasa dilakukan di kampung halaman. Tangis pilu bercampur haru dari keluarganya mengiringi ia berlalu dari peron stasiun kereta ketika sang surya berwarna jingga terbit memberikan senyum penuh harapan pada jam enam pagi.
Perjalanan dengan kereta yang penuh perhentian dirasakanya bagai perjalanan menuju Antartika. Kok tidak lekas sampai di Jakarta, ujarnya dalam hati yang mulai galau. Kegalauannya membuat ia lelah kemudian terlelap sambil memeluk tas berbahan goni yang isinya beberapa pakaian ganti dan uang seadanya.
”Aqua, qua, qua, qua...”
”Bu... seribu!” “Mijon-nya, mijon-nya, mijon-nya..”
teriak seorang pedagang asongan yang sulit mengucapkan kata Mizone, sebuah minuman elektrolit yang tengah digemari. Teriakan sang pedangan memekakkan telinganya
yang terlelap hingga kaget dan terbangun. Ia sudah sampai di stasiun Kota. Sambil terhuyung-huyung karena masih mengantuk ia jalan perlahan menuju pintu gerbong kereta. Para pedagang asongan di luar berteriak-teriak bergantian bahkan ’bertindihan’ sehingga para calon pembeli bingung barang apa saja yang mereka jual. Air, kacang, permen, tissu, tahu, dan entah apa lagi.
Ketika menjejakkan kaki di stasiun, ia merasa melayang seperti berjalan di bulan. Ia segera menyeka keringatnya dan memanggil seorang pedagang asongan untuk membeli sebotol air mineral. Tegukan demi tegukan air yang sejuk melepas dahaga yang tertahan sejak ia tidur. Sambil menikmatinya, Tulkijah yang telah kembali segar segera berlalu mencari bus ke arah Tangerang, ke rumah paman Sobikun. Sesampainya di terminal kota Tangerang, paman Sobikun sudah menunggu tak jauh dari bus parkir lalu menyambutnya.

”Apa kabar, Paman? Gimana Jakarta?”
Ah, ibukota ternyata lebih kejam daripada ibu tiri! Makanya paman milih tinggal di pinggiran,” katanya sambil mengajaknya jalan mencari becak. Tulkijah hanya senyum dan garuk kepala tanda tidak mengerti. Ia tidak tahu nasib seperti apa yang akan ia dapat dari proses mengadunya yang akan segera dimulai.
Kendaraan roda tiga yang digenjot dari belakang sudah langka di kota Jakarta. Kemajuan zaman membuat bus-bus besar berbahan bakar gas mendominasi trayek-trayek favorit bagi masyarakat kota yang meminta perbaikan infrastruktur serta fasilitas demi mencapai taraf hidup lebih modern. Paman Sobikun dan Tulkijah terbuai sejenak dalam alunan angin sepoi-sepoi yang bertiup ke wajah saat naik becak.
”Stop kiri di gang dekat tiang listrik, Pak!” kata sang paman. Ia mengeluarkan selembar uang lima ribu rupiah lalu mengajak ponakannya menyusuri gang kecil dengan parit berair hitam hingga sampai ke rumahnya.
Rumah pamannya boleh dibilang mengadaptasi gaya arsitektur kontemporer skala melarat. Perpaduan antara karya arsitek asal Belanda, Rem Koolhaas, yang bersudut-sudut layaknya Seattle Central Library dan karya Tadao Ando yang simple di atas lahan sangat terbatas. Rumah itu terbuat dari kardus bekas, triplek dan anyaman gedek. Tidak lurus, tidak juga miring tetapi jelas meleyot di sana-sini. Lantainya bukan marmer merek Essenza tapi hanya tanah dialasi kain terpal yang kerap jadi lembab dan dingin dikala musim hujan.
Ia mengajak ponakannya itu masuk. Tulkijah tidak menyangka bila paman yang tinggal di kota ternyata hidup lebih melarat walau pernah sekali pulang kampung sambil bercerita tentang gedung tinggi, mobil Mercedes, sekelompok lelaki bersetelan jas mahal, hingga Taman Impian Jaya Ancol.

Paman Sobikun memperkenalkan Tulkijah pada istrinya, Aminah, yang sedang menyiapkan makan malam. Penghasilan dari penjualan kardus serta botol bekas yang dikumpulkan hari ini tidak banyak. Apalagi, keluarga pemulung ini kedatangan tamu. Malam ini terpaksa mereka bertiga hanya makan nasi, garam, cabe rawit, dan krupuk. Melihat keadaan ini, Tulkijah dengan sadar diri berkeinginan untuk segera mendapat pekerjaan. Sepertinya ’menumpang’ paman yang melarat bisa-bisa membuatnya diusir dalam waktu tak lebih dari tiga hari karena menjadi beban.
Selama di perjalanan, Tulkijah mencermati bahwa banyak perusahaan keramik dan tekstil di daerah ini. Pamannya pun mengiyakan karena Tangerang memang termasuk kota industri.
”Saya ingin mengisi waktu jadi kuli angkat barang sambil mencari pekerjaan lain agar bisa mendapat uang untuk makan bersama paman dan bibi,” kata Tulkijah tulus.
”Baiklah! Besok pagi paman kenalkan kamu ke Pak Dadang. Mandor di salah satu perusahaan keramik. Siapa tahu kamu bisa bantu jadi kuli angkut. Lumayan, upahnya bisa buat makan tiga hari.”
Santap malam ekstra sederhana serta obrolan singkat berakhir. Bibi Aminah mencuci piring kotor yang pinggirannya sudah gompel di area dapur minimalis berukuran 1,5m x 2m. Tulkijah tidak melihat ada ruang lagi selain dapur kecil dan tempat mereka makan bersama yang berukuran 3m x 2m. Di ’aula serbaguna’ inilah mereka tidur, berbincang, makan dan bergurau. Lalu kamar mandi? Jalan ke belakang rumah sekitar 5 menit jauhnya akan ada sungai yang di atasnya terdapat ruang berbentuk kubus dengan kaki panjang seperti orang pakai egrang. Tempat ini biasa digunakan penduduk untuk mandi dan buang air.
Keesokkan harinya, paman kembali bekerja mengumpulkan kardus dan botol plastik bekas sembari memperkenalkan ponakannya pada mandor perusahaan keramik. Pagi itu terasa singkat untuk Tulkijah. Biasanya di kampung ia menyantap ubi madu rebus dan minum wedang jahe untuk sarapan. Kini, hanya ada teh hangat seduh tanpa gula yang hampir basi karena sudah diseduh lebih dari 3x. Terakhir, teh ini menemani santap malamnya. Setelah mengisi perut mereka keluar rumah mulai mengadu nasib.
Sampailah mereka di pabrik keramik tempat Pak Dadang jadi mandornya. Pamannya menyapa sang mandor dan membicarakan maksud kedatangannya ke sana.
Ah, kebetulan sampean kemari! Si Ucup lagi kena demam berdarah. Cuti entah sampai kapan. Bolehlah ponakanmu bekerja jadi anak buahku. Seminggu 6 hari kerja. Senin sampai Sabtu, jam 8 pagi sampai jam 6 sore. Upah Rp 35.000,00/hari. Gimana?”
”Boleh, Pak!” jawab Tulkijah antusias.
Hari itu berlalu dengan semangat karena Tulkijah mendapat peran baru sebagai kuli angkut keramik dari pabrik ke truk untuk didistribusikan ke seluruh Indonesia, Singapura, Malaysia dan Philipina. Mendekati jam 6 sore yang merupakan waktu pembagian upah, punggungnya seperti dihujam ribuan jarum tajam yang membuatnya ngilu dan perih hingga ia terjatuh duduk dekat pos satpam di sebelah truk. Satpam yang berjaga menyapanya sambil memberi dua lembar koyo untuk pundaknya.
”Terimakasih ya, Pak. Aduh, punggung saya sakit sekali! Maklum hari pertama belum biasa,” jawab Tulkijah sambil meringis dan berpeluh.
Hari lekas berganti, tahun demi tahun turut bergulir. 2,5 tahun sudah ia menjadi kuli angkut di pabrik ini. Tubuhnya tak lagi kurus. Kini bahu, lengan dan betisnya berotot ditambah telapak kaki serta tangan yang kasar dan penuh kapalan. Sosok tubuh seorang kuli sejati.
Hari ini adalah hari ke-9 di bulan September tahun 2009. Kebetulan sang pemilik perusahaan datang berkunjung sambil membawa anak lelakinya, Handoyo Setiawan, yang baru saja pulang dari studi master di Amerika. Anak lelaki ini tampan, gaya, telah beristri dan memiliki 2 anak. Handoyo sangat tertarik dengan sosok Tulkijah, seorang kuli paling rajin di pabriknya. Ia menginginkannya menjadi penjaga rumah dan keinginannya tersebut disetujui oleh sang ayah.
”Hei, Mas! Mulai besok pagi kemasi barang mu dan ikut saya,” kata Handoyo kepadanya.
”Saya mau diajak ke mana, Pak?” tanya Tulkijah panik.
”Kamu akan menjadi penjaga rumah saya. Jaga anak, istri, mobil dan rumah dari maling. Sesekali bantu istri saya juga beres-beres rumah terutama kalau ada wastafel bocor atau keran air rusak.”
Tulkijah senang bukan kepalang. Beban di bahu terangkat sudah. Kardus-kardus berisi lempengan keramik seberat 10-15kg yang menjadi sahabat kedua punggungnya akan ditinggalkan.
Kini Tulkijah tinggal di rumah Handoyo, tuan muda pewaris tunggal perusahaan keramik yang dermawan. Ia tinggal di sebuah rumah tingkat nan megah seluas 2 hektar di wilayah Jakarta Selatan. Garasinya penuh 4 mobil Mercedes dalam berbagai seri dan warna, plus dua motor besar a la Renegade. Halaman rumahnya luas, hijau tertata rapi dengan bunga berwarna-warni dan kolam kecil air terjun berisi ikan koi merah-putih.
Tapi dasar Tulkijah bodoh. Keterampilannya terbatas dan jarang menggunakan akal sebab orangtuanya tidak punya biaya sekolah. Kerap kali jika tuan dan nyonya Handoyo meminta bantuannya pasti tidak dilakukan dengan benar. Disuruh A malah mengerjakan B. Disuruh A, B, C yang dikerjakan hanya C. Ada saja kelalaian yang ia buat karena keterbatasan dalam bernalar dan berpikir multitasking. Ia hanya handal dalam urusan kekuatan fisik.

Bukan salah Tulkijah jika ia kurang pandai dalam urusan keterampilan mengerjakan suatu perintah. Tuan dan nyonya juga harus sadar bahwa ia bukan lulusan Amerika. Ia tidak pintar dan butuh banyak bimbingan. Mungkin tuan dan nyonya sering kesal dan marah. Tapi jelas bahwa tuan dan nyonya butuh orang seperti dirinya. Orang dari kalangan kurang beruntung yang akhirnya ditakdirkan untuk melakukan suatu pekerjaan yang tak mungkin dilakukan oleh orang berada.
Namaku Tulkijah. Bila mencari donor otak, mungkin otak ku mahal harganya karena jarang dipakai. Tapi aku seorang pengabdi yang setia. Aku jujur dan tahu berterimakasih. Kini aku bisa makan daging walau sisa dari keluarga Handoyo Setiawan. Kini aku bisa bercerita bagaimana mewahnya mobil Mercedes dan deru menggetarkan dari knalpot motor Harley Davidson walau hanya sebatas melihat dan membersihkannya dari debu.
Aku memang tidak pandai. Tapi hanya ini yang bisa aku lakukan untuk memberi makna dalam hidupku. Aku si bodoh pengabdi ulung bernama Tulkijah. Bila ditanya apakah adu ayamku menang atau kalah, aku hanya bisa menjawab bahwa kehandalanku adalah menyaksikan para pengadu ulung bertanding dari kejauhan lalu merapikan arenanya setelah sang pemenang dinobatkan.


Jakarta, 22 Agustus 2009.
AYU SAPTARIKA
Semua tokoh dan cerita adalah fiktif.
Image : tbelfield.files.wordpress.com, http://www.irwan.net/.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Musical Time: Let's Learning!

Music has been part of my life since I was young, Everyday I wake up with music and also go to bed with music, Just like an a...