Senin, 21 Juni 2010

Unity in Diversity


Pernahkah Anda merasakan momen ‘kena batunya’? Apalagi kalau ‘kena batu’nya dalam hal cinta? Rasanya pasti ingin menghilang! Pengalaman ini belum lama dialami oleh seorang teman. Teman saya ini boleh dikategorikan sebagai seorang lelaki high quality jomblo. He got the look, he got the brain, he got the sense of humor, he got the job, but.. he got no girl. Ada banyak perempuan cantik yang berlomba untuk memenangkan hatinya. Tapi, dia sedang asyik berkarir sehingga mencari pasangan adalah aktivitas yang nanti dulu. Masih muda dan penuh semangat untuk mengejar cita-cita setinggi langit. I am on your side, friend!
Teman saya ini memang terkenal cermat dan penuh pertimbangan dalam bertindak. Tapi sayangnya, kali ini dia kecolongan. Kecolongan dalam hal cinta yang mungkin biasanya tidak pernah. Kok bisa??? Saya juga kurang mengerti. Tapi jika Anda bertanya pendapat saya mengenai penyebabnya it’s just because he underestimate the girl at the first time. Perempuan yang dikenalkan kepadanya, sebut saja Ms. J’adore, kebetulan lain dari pada yang lain.
Anehnya, Ms. J’adore yang awalnya dicuekin ternyata sukses membuat teman saya jadi tergila-gila. Teman saya yang tadinya tidak peduli seketika berubah menjadi seorang secret admirer. Si perempuan pun lama-lama sadar jika teman saya menyukainya. Tapi karena teman saya ini gengsian, jadilah aksi secret admirer-nya kelamaan sehingga Ms. J’adore merasa terganggu. Saat teman saya memutuskan untuk memulai pendekatan nyata dengannya, Ms. J’adore menolak dan berkata kepadanya untuk tidak mendekatinya lagi. Akhirnya, teman saya pun hanya bisa diam, gigit jari sambil menyaksikan Ms. J’adore berlalu.
Komentar saya kepadanya : “Hahaha… sukurin! Lu sih nyuekin orang! Kenapa juga kalo mau kenalan lagi gak langsung ngomong aja? Lu liat sekarang, dia malah kabur!”
Pengalaman di atas mungkin pernah terjadi dengan Anda atau rekan-rekan di sekitar. Tak hanya dalam hal cinta, namun juga dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya berelasi dengan rekan kerja dan klien. Boleh disimpulkan bahwa moment kecolongan terjadi akibat kita tanpa sadar bermegah diri hingga menjadi lengah lantas meremehkan sesuatu di sekitar padahal sesuatu tersebut sangat dicari bahkan diinginkan.
Ada pengalaman unik yang saya dapat dari tempat kerja ayah. Suatu hari ada seorang lelaki paruh baya datang ke kantornya. Orangnya biasa saja bahkan penampilannya agak tak karuan. Namun demikian, Ayah saya menyambutnya dengan baik. Saat ia mengutarakan maksud kedatangannya, wow dia menjadi jauh lebih keren daripada seorang Jude Law! Ternyata dia seorang ilmuwan Indonesia lulusan universitas no.1 di Amerika. Ia menciptakan mesin pembangkit energi teknologi plasma dan bermaksud bekerja sama dengan perusahaan tempat ayah saya bekerja. He is genius but very kind and so with my daddy, bravo!
Menghargai sesama adalah sesuatu yang telah diajarkan kepada kita dari kecil. Akan tetapi, banyak sekali hambatan untuk merealisasikannya. Terutama karena masalah perbedaan ras, suku, agama, keadaan ekonomi, sampai penampilan fisik. Padahal kalau dipikir-pikir, kita ini kan sama-sama manusia. So actually, we should be nice, kind, and generous to all the people.
Jika sedang berkendara lantas menjumpai seorang pengemis sungguhan di lampu merah (bukan yang mengemis karena kurang berusaha mencari kerja). Coba cermati dan ‘buka mata’ Anda. Yang membuat dia dan Anda berbeda adalah nasib. Thank God, you are so fortunate! Seandainya pengemis itu punya nasib beruntung, tentu pakaiannya tidak lusuh tapi bermerek Christian Dior. Kantong kresek buat menyimpan pakaian gantinya berubah menjadi Louis Vuitton Speedy bag, dan sandal jepitnya yang sudah mau putus berubah jadi sepatu kulit berpita keluaran Salvatore Ferragamo. Terakhir, kulit kusam dan kuku hitam-hitamnya tak terlihat lagi lantaran rajin melakukan manicure-pedicure serta spa di Ritz Carlton. Satu yang tetap sama, si pengemis dan Anda adalah manusia ciptaan Tuhan.
Perbedaan ini dan itu memang sering membuat manusia menjadi kurang menghargai satu sama lain sehingga muncul pertengkaran bahkan sampai perang. Memang sulit mengatasinya, sebab kita sendiri adalah manusia yang memiliki banyak kelemahan dan suka berbuat salah. Akan tetapi ada satu yang jangan sampai salah, yaitu pola pikir! Mencoba untuk lebih open mind dan saling menghargai adalah jalan keluar untuk menyikapi berbagai perbedaan. Bahkan dari hal-hal yang berbeda, kita justru bisa mempelajari sesuatu yang baru sehingga menambah pengetahuan.
Seperti semboyan negara kita, Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
I believe if unity in diversity is not just a fantasy!

Ah… seandainya saja kisah teman saya dan Ms. J’adore ada kelanjutannya. Saya yakin pasti seru!
So friends, dare to be different but don’t be afraid to deal with something different.
Unity in diversity is real if we have a willingness to respect each other and appreciate the diversity of life.

Image source : http://www.emmanuellegomez.file.wordpress.com/ by Monica Stewart

Musical Time: Let's Learning!

Music has been part of my life since I was young, Everyday I wake up with music and also go to bed with music, Just like an a...